Rabu, 23 Mei 2012

DIAGNOSIS LABORATORIS DBD TERKINI


DIAGNOSIS LABORATORIS DBD TERKINI
PENDAHULUAN
Sampai saat Demam Berdarah Dengue ( DBD ) masih merupakan masalah kesehatan, bersifat endemis dan timbul sepanjang tahun. Penyakit ini walau banyak terjadi pada anak-anak, namun terdapat kecenderungan peningkatan jumlah penderita dewasa serta menyebabkan morbiditas dan mortalitas.
Diagnosis laboratoris DBD baik pada anak maupun dewasa belum pernah dibedakan secara jelas, di mana masih memakai kriteria umum yaitu isolasi virus dengan cara kultur, pemeriksaan serologis dengan mendeteksi antibodi anti-dengue, maupun pemeriksaan asam nukleat dari RNA virus dengue yang sekaligus dapat mendeteksi jenis serotipe virus dengue yang diperlukan tidak saja untuk keperluan epidemiologi, namun salah satu faktor yang kemungkinan dapat mengarah pada gradasi berat ringannya gejala infeksi virus dengue.
Konsekuensinya, diperlukan pemahaman prosedur pemeriksaan yang dapat dilakukan secara rutin maupun untuk penelitian, beserta interpretasi hasil uji laboratorisnya. Pengertian mengenai kinetik replikasi virus dengue dan respons terhadap host, demikian juga untuk pengumpulan dan penanganan spesimen diperlukan untuk mengklarifikasi kekuatan dan kelemahan dari berbagai uji/metode diagnosis infeksi virus dengue.
Diagnosis infeksi virus Dengue, selain dengan melihat gejala klinis, juga dilakukan dengan pemeriksaan darah di laboratorium. Pada Demam Dengue
 (DD), saat awal demam akan dijumpai jumlah leukosit (sel darah putih) normal, kemudian menjadi leukopenia (sel darah putih yang menurun) selama fase demam. Jumlah trombosit pada umumnya normal, demikian pula semua faktor pembekuan, tetapi saat epidemi/wabah dapat dijumpai trombositopenia (jumlah trombosit yang menurun ). Enzim hati dapat meningkat ringan. Pada Demam Berdarah Dengue (DBD), pemeriksaan laboratorium menunjukkan trombositopenia dan hemokonsentrasi. Pada kasus syok/SSD, selain ditemukan hasil laboratorium seperti DBD di atas, juga terdapat kegagalan sirkulasi ditandai dengan terjadi penurunan demam disertai keluarnya keringat, ujung tangan dan kaki teraba dingin, nadi cepat atau bahkan melambat hingga tidak teraba serta tekanan darah tidak terukur. Seringkali sesaat sebelum syok, penderita mengeluh nyeri perut, beberapa tampak sangat lemah dan gelisah.
Dalam menegakkan diagnosis infeksi virus Dengue diperlukan  pemeriksaan untuk mendeteksi adanya antibodi spesifik terhadap virus Dengue di dalam serum penderita baik berupa IgM antidengue maupun IgG antidengue.
Penting diketahui bahwa IgG antidengue bersifat diagnostik, dapat menjadi parameter terjadinya dugaan infeksi dengue sekunder akut. Hal ini sesuai dengan teori yang masih dianut sampai saat ini, yaitu teori heterologous infection maupun ADE (Antibody Dependent Enhancement).Jadi IgG yang terdeteksi dalam pemeriksaan laboratorium tidak menunjukkan adanya proteksi atau sekedar infeksi virus dengue di masa lampau.
Diagnosis yang telah ditegakkan dengan pemeriksaan klinis dan laboratoris (WHO,1997), ditunjang dengan pemeriksaan serologis adanya baik IgM anti dengue ataupun IgG anti dengue yang idealnya diikuti kadarnya ( apabila memungkinkan ), hal ini akan mempertajam diagnosis DBD. Pemeriksaan lanjutan untuk mengetahui serotipe Den1,2,3,4 dari virus dengue saat ini banyak dilakukan dengan metode molekuler yaitu nested RT-PCR ( Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction ).Untuk wabah DBD yang sekarang merebak di Indonesia saat ini, idealnya pemeriksaan dilanjutkan tidak hanya sampai serotipe namun untuk melihat subtipe, yang akhir-akhir ini diduga sebagai strain baru.

IMUNOPATOGENESIS
Di dalam tubuh manusia, virus berkembang biak dalam sistim retikuloendotelial, dengan target utama virus dengue adalah APC ( Antigen Presenting Cells ) di mana pada umumnya berupa monosit atau makrofag jaringan seperti sel Kupffer dari hepar
( hepatosit) juga dapat terkena.Viremia timbul pada saat menjelang tampak gejala klinik hingga 5 - 7 hari setelahnya. Virus bersirkulasi dalam darah perifer di dalam sel monosit/makrofag, sel limfosit B dan sel limfosit T.
Imunopatogenesis DBD dan SSD masih merupakan masalah yang kontroversial. Dua teori yang digunakan untuk menjelaskan perubahan patogenesis pada DBD dan SSD yaitu hipotesis infeksi sekunder (teori secondary heterologous infection) dan hypothesis antibody dependent  enhancement ( ADE ). Teori infeksi sekunder menyebutkan bahwa apabila seseorang mendapatkan infeksi primer dengan satu jenis virus, akan terjadi proses kekebalan terhadap infeksi terhadap jenis virus tersebut untuk jangka waktu yang lama, tetapi jika orang tersebut mendapatkan infeksi sekunder dengan jenis serotipe virus yang lain, maka terjadi infeksi yang berat. Pada teori kedua (ADE), menyebutkan tiga hal yaitu antibodies enhance infection, T-cells enhance infection serta limfosit T dan monosit akan melepaskan sitokin yang berkontribusi terhadap terjadinya DBD dan SSD.Singkatnya secara umum ADE dijelaskan sebagai berikut, bahwa jika terdapat antibodi spesifik terhadap jenis virus tertentu, maka antibodi tersebut dapat mencegah penyakit, tetapi sebaliknya apabila antibodi yang terdapat dalam tubuh merupakan antibodi yang tidak dapat menetralisasi virus, justru dapat menimbulkan penyakit yang berat.
Infeksi dari salah satu serotipe dengue menimbulkan imunitas seumur hidup, namun hanya sebagian kecil yang memiliki imunitas silang protektif terhadap infeksi serotipe lain. Pada anak, infeksi virus dengue sering bersifat subklinis atau dapat menyebabkan penyakit demam yang self-limited, namun apabila suatu saat penderita terkena infeksi virus dengue berikutnya dengan serotipe yang berbeda, penyakit ini akan lebih berat, menjadi demam berdarah dengue ataupun dengue syok sindrom ( anamnestic dengue infection ).Di daerah endemis, penderita yang terdiagnosis demam dengue seringkali terbukti infeksi sekunder.
Infeksi primer ditandai dengan timbulnya antibodi IgM terhadap dengue sekitar tiga sampai lima hari setelah timbulnya demam, meningkat tajam dalam satu sampai tiga minggu serta dapat dideteksi sampai tiga bulan. Antibodi IgG terhadap dengue diproduksi sekitar dua minggu sesudah infeksi. Titer IgG ini meningkat amat cepat, lalu menurun secara lambat dalam waktu yang lama dan biasanya bertahan seumur hidup.Pada infeksi sekunder terjadi reaksi anamnestik dari pembentukan antibodi, khususnya dari kelas IgG di mana pada hari ke dua saja, IgG ini sudah dapat meningkat tajam. Pada berbagai penelitian di daerah di mana dengue primer dan sekunder terjadi keduanya, didapatkan suatu angka signifikan yang menyatakan bahwa pada pasien dengan infeksi sekunder dengue, antibodi IgM tidak terdeteksi dalam waktu lima hari sejak infeksi timbul, bahkan pada beberapa kasus tidak menunjukkan suatu respon hingga hari ke 20.
PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam dengue adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ( metode cell culture ) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan  teknik RT-PCR ( Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction ), namun karena teknik yang rumit yang berkembang saat ini adalah tes serologis ( adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi total, IgM maupun IgG ).
Pemeriksaan serologis ditujukan untuk deteksi antibodi spesifik terhadap virus dengue. Pemeriksaan yang banyak digunakan adalah berupa uji HI ( hemagglutination inhibition test= uji hambatan hemaglutinasi ) yang merupakan standar WHO, kemudian uji  Indirect  ELISA, uji Captured ELISA untuk Dengue baik IgM Captured-ELISA
( MAC-ELISA ) maupun  IgG Captured – ELISA,  Dengue blot/Dengue   Stick/ Dot  imunoasai  Dengue,   dan uji ICT ( Immuno-chromatographic Test )  antara lain Dengue Rapid Test ,sedangkan uji fiksasi komplemen dan uji netralisasi sudah lama ditinggalkan karena rumit dan tidak praktis. 
Uji HI yang merupakan uji serologis yang dianjurkan menurut standar WHO, dapat mendeteksi antibodi anti-dengue, di mana infeksi virus dengue akut ditandai dengan terdapatnya peningkatan titer empat kali atau lebih antara sepasang sera yaitu serum akut dan serum konvalesen, di samping itu titer ³ 1:2560 menunjukkan interpretasi infeksi flavivirus sekunder.

1.Uji Rumpel Leede ( RL )
Pemeriksaan RL ditujukan untuk menilai ada tidaknya gangguan vaskuler.
Perlu diingat bahwa bila uji ini positif tidak selalu disebabkan oleh virus dengue saja, namun juga dapat oleh penyakit virus lainnya .Hasil dikatakan normal bila petekia yang timbul dalam lingkaran berdiameter 5 cm yang terletak 4 cm di bawah lipatan siku berjumlah 5 atau kurang.


2.Kadar hematokrit
Peningkatan nilai hematokrit atau hemokonsentrasi selalu dijumpai pada DBD, merupakan indikator terjadinya perembesan plasma. Hemokonsentrasi dapat dilihat dari peningkatan hematokrit 20% atau lebih. Harga normal hematokrit  di laboratorium PK RSUD Dr.Sutomo ,wanita 35-45%, pria 40-50%.
3.Jumlah trombosit
Penurunan jumlah trombosit ( trombositopenia ) pada umumnya terjadi sebelum ada peningkatan hematokrit dan terjadi sebelum suhu turun. Trombositopenia
 100.000/Ul atau kurang dari 1-2 trombosit  per lapangan pandang besar (lpb) dengan rata-rata pemeriksaan dilakukan pada 10 lpb, biasanya dapat dijumpai antara hari sakit ketiga sampai ketujuh. Apabila diperlukan, pemeriksaan trombosit perlu diulangi setiap hari sampai suhu turun.
4.Isolasi virus
Diagnosis pasti yaitu dengan cara isolasi virus dengue dengan menggunakan kultur sel. Faktor yang mempengaruhi keberhasilan isolasi virus adalah pengambilan spesimen yang awal biasanya dalam lima hari setelah timbulnya demam , penanganan spesimen serta pengiriman spesimen yang baik ke laboratorium. Bahan untuk isolasi virus dengue dapat berupa serum, plasma atau lapisan buffy-coat darah-heparinized.
Kultur sel yang banyak digunakan adalah dari sel AP/61, C6/36 dan TRA-284-SF. Hasil kultur diidentifikasi dengan menggunakan metode imunofloresen DFA ( Direct Immunofluorescent Assay ) atau IFA ( Indirect Immunofluorescent Assay ) dengan menggunakan antibodi monoklonal spesifik. Keterbatasan metode ini adalah sulitnya peralatan serta memerlukan waktu dua sampai tiga minggu untuk mendapatkan hasil.

5.Uji serologis
5.1.Uji Inhibisi Hemaglutinasi ( Haemagglutination Inhibition Test )
Uji serologi HI merupakan gold standard WHO untuk diagnosis infeksi virus dengue.
Uji ini untuk menetapkan titer antibodi anti-dengue yang dapat menghambat kemampuan virus dengue mengaglutinasi sel darah merah angsa. Antibodi HI bertahan di dalam tubuh sampai bertahun-tahun, sehingga uji ini baik untuk studi sero-epidemiologi.
Sayangnya uji ini membutuhkan sepasang sera dengan perbedaan waktu fase akut dan konvalesen paling sedikit 7 hari, optimalnya 10 hari.Uji ini dapat digunakan untuk membedakan infeksi primer dan sekunder berdasarkan titer antibodinya.

Tabel 1. Interpretasi Uji HI (Hambatan Hemaglutinasi ; WHO , 1997 )
Kenaikan titer
Interval Serum I-II
Titer konvalesen
Interpretasi
≥ 4kali


≥  4 kali


≥ 4 kali


Tidak ada kenaikan


Tidak ada kenaikan

Tidak ada kenaikan

Tidak diketahui
≥ 7 hari


spesimen apapun


< 7 hari


spesimen apapun


≥ 7 hari

< 7 hari

spesimen tunggal
≤ 1 : 1280


≥ 1 : 2560


≤ 1 : 1280


≥ 1 : 2560


≤ 1 : 1280

≤ 1 : 1280

≤ 1 : 1280
Infeksi flavivirus akut, primer

Infeksi flavivirus akut, sekunder

Infeksi flavivirus akut, primer atau sekunder

Infeksi flavivirus baru,
Sekunder

Bukan dengue

Tdk dpt diinterpretasi

Tdk dpt diinterpretasi

5.2.Uji  ELISA
Uji ELISA tidak membutuhkan sepasang serum, cukup dengan serum tunggal dapat untuk mendeteksi IgG maupun IgM anti-dengue.Uji ini bersifat kuantitatif, biasanya hasil yang dibaca berupa absorbans yang kemudian dikonversikan menjadi satuan unit atau rasio.
Prinsip uji ELISA untuk deteksi antibodi terhadap virus dengue, tehnik dapat berupa ELISA tak langsung ( Indirect ELISA ) maupun Captured ELISA.
Di pasaran Indonesia saat ini terdapat pemeriksaan ELISA baik yang Indirect ELISA untuk mendeteksi IgG anti-dengue maupun yang Captured ELISA yang dapat mendeteksi IgG anti-dengue serta IgM anti-dengue dalam serum penderita.MAC ELISA adalah istilah dari singkatan IgM Captured ELISA, dengan prinsip dasar goat atau rabbit antihuman IgM yang dilapiskan pada fase padat ( microtiter plate ELISA ) akan berikatan dengan IgM anti-dengue dari serum penderita .Langkah berikutnya ditambahkan antigen dengue, selanjutnya diberi konjugat anti viral IgG-HRP dan substrat lalu diukur kadar absorbansnya sehingga dapat diketahui konsentrasi  IgMnya.

Keuntungan uji Captured ELISA dibandingkan uji HI pada infeksi dengue akut yaitu lebih cepat dan dengan hanya spesimen serum tunggal didapatkan sensitivitas ELISA 78% sedangkan uji HI 53%, di mana pada sepasang serum sensitivitas uji ELISA ini meningkat menjadi 97% melebihi uji HI.

Pemeriksaan Captured ELISA untuk IgM dan IgG sekaligus pada pemeriksaan dengan metode Dengue Duo ELISA ( Panbio, Australia) dapat untuk membedakan infeksi primer dan infeksi sekunder, walaupun hanya memakai serum tunggal.

Tabel 2. Interpretasi uji ELISA Dengue (  Panbio, Catalogue No. E-DEN02G )

Rasio
Hasil
Interpretasi
IgM < 0,9
negatif
tidak ada infeksi dengue
IgM 0,9-1,1
ekuivokal
perlu tes ulang
IgM > 1,1
positif
dugaan infeksi baru dengue
IgG < 1,8
negatif
tidak ada infeksi sekunder
IgG 1,8-2,2
ekuivokal
perlu tes ulang
IgG > 2,2
positif
dugaan infeksi sekunder aktif

5.3.Uji Dengue Blot/Dot imunoasai/Dengue Stick
Prinsip dasar  uji dengue blot/ dengue stick/ dot imunoasai adalah uji ELISA, baik uji ELISA tak langsung ( Indirect ELISA ) atau menggunakan Captured-ELISA. Yang membedakan uji dengue blot/dengue stick/dot imunoasai dibandingkan dengan ELISA yaitu pada fase padatnya, menggunakan kertas nitroselulose yang bersifat high capacity. Pemeriksaan ini dilakukan pada serum tunggal dengan hasil kualitatif.
Pada uji dengue blot/dengue stick/dot imunoasai dapat menggunakan metode ELISA tak langsung yaitu antigen virus dilekatkan langsung pada fase padat, di mana setelah diberikan blokade untuk menutup celah-celah di antara antigen pada kertas nitroselulose, langsung diberikan serum penderita. Bila di dalam serum penderita terdapat antibodi anti-dengue dapat berupa IgG anti-dengue atau IgM anti-dengue , yang dikerjakan secara terpisah yaitu IgG Indirect ELISA saja atau IgM Indirect ELISA, maka antibodi tersebut akan berikatan dengan antigen yang terikat pada kertas nitroselulose.  Setelah tahap inkubasi dan pencucian, ikatan antigen-antibodi ini dapat dilacak dengan menggunakan konjugat yaitu antibodi yang berlabel enzim AP (alkalinefosfatase), HRP (horseradish peroxidase) maupun colloidal gold yang akan memberikan dot berwarna biru keunguan setelah ditambah substrat berkromogen.

Selain dengan metode ELISA tak langsung, uji ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Captured ELISA , misalnya pada IgM Captured ELISA di mana antihuman IgM dilekatkan pada fase padat kertas nitroselulose. Antihuman IgM ini akan menangkap IgM di dalam serum penderita. Tahap berikutnya diberikan antigen dengue, selanjutnya diberikan pelacak seperti yang terdapat pada metode ELISA tak langsung di atas dan akan memberikan hasil dot berwarna biru keunguan yang menunjukkan hasil positif.

5.4.Uji Imunokromatografi  (ICT)
Dewasa ini di pasaran berkembang pemeriksaan dengue cara cepat dengan menggunakan metode imunokromatografi, antara lain Dengue Rapid Test (Dengue Duo IgM and IgG Rapid Strip Test  Catalogue No. DEN-25S ) dari PanBio Pty Ltd. Uji ini menggunakan protein envelop rekombinan dengue, serta digunakan untuk membedakan infeksi dengue primer dan sekunder.
Uji ini dapat mendeteksi baik IgM dan IgG anti-dengue sekaligus dalam serum tunggal dalam waktu 15-30 menit.
Pada Dengue Rapid Test (uji ICT) berbentuk strip ini telah distandardisasi sedemikian rupa sehingga pada penderita infeksi primer IgM positif dimana IgGnya negatif, sebaliknya pada infeksi sekunder hasil IgG positif dapat disertai dengan atau tanpa hasil IgM yang positif.
Prinsip pemeriksaan yaitu Captured ELISA dengan fase padat nitroselulose/dipstick dengan daya kromatografi maka antibodi IgM atau IgG anti-dengue yang terdapat di dalam serum penderita akan berikatan dengan antihuman IgM atau antihuman IgG yang telah diimobilisasi pada fase padatnya membentuk garis melintang pada membran tes.Secara bersamaan antibodi monoklonal anti-dengue yang berlabel gold bereaksi dengan antigen dengue (rekombinan). Konjugat ini ( antibodi monoklonal anti-dengue yang berikatan dengan antigen dengue ) akan berikatan dengan antibodi IgM atau IgG  dari serum penderita tersebut membentuk garis berwarna ungu.

Nuryati, 2001 mendapatkan sensitivitas diagnostik Dengue Rapid Test 97,36% dan spesifisitas diagnostik 84,38% pada penderita demam berdarah dengue.

Tabel 3. Hasil penelitian Dengue Rapid Strip Test Panbio Pty Ltd
Peneliti
Sensitifitas diagnostik
Spesifisitas diagnostik
Cuzzubo AJ et al
99 % ( 149/150 )
87% ( 85/98 )
Nuryati S
97,36 % ( 37/38 )
84,38 % ( 27/32 )
Aryati et al
98,28 % ( 57/58 )
81,82 % ( 36/44 )






Tabel 4. Analisis Spesifisitas Dengue Rapid Strip Test
Sampel
Jumlah IgM-
Jumlah IgG-
Jumlah IgM & IgG
Tifoid
15/19 (78,95%)
19/19 (100%)
15/19 (78,95%)
Bronkopnemoni
8/8 (100%)
8/8 (100%)
8/8 (100%)
Difteri
4/4 (100%)
¾ ( 75% )
¾ ( 75% )
ISK
1/1 (100% )
1/1 ( 100% )
1/1 ( 100% )
Malaria
9/12 ( 75% )
12/12 ( 100 )
9/12 ( 75% )
Total (spesifisitas )
37/44 ( 84, 09% )
43/44 ( 97,73% )
36/44 ( 81,82% )

Berpijak dari data penelitian Dengue Rapid Test ( strip ) baik yang dilakukan oleh Cuzzubo et al, Nuryati S dan kami sendiri , terdapat hal-hal yang perlu dicermati yaitu pada infeksi sekunder tidak perlu harus menunggu timbulnya garis IgM antidengue yang positif, cukup bila timbulnya garis IgG antidengue yang karakteristik untuk infeksi sekunder sudah dapat dikatakan indikasi infeksi dengue sekunder ( hanya 25-78% IgM positif pada infeksi sekunder akut ).Di samping itu perlu pula dicermati bahwa pada infeksi primer kita harus lebih waspada dalam mendiagnosis, terutama kecurigaan pada tifoid dan malaria, perlu dikonfirmasi dengan klinis dan pemeriksaan laboratorium lainnya.
 Uji imunokromatografi ini baik untuk digunakan di lapangan karena cepat dan praktis serta lebih berguna pada daerah di mana infeksi sekunder lebih sering terjadi misalnya di Asia Tenggara dan Amerika Selatan.

6. Nested RT-PCR ( Reverse Transcriptase- Polymerase Chain Reaction )
Virus dengue merupakan virus RNA, sehingga untuk melakukan PCR harus dilakukan reverse transcription agar terbentuk cDNA ( complementary DNA ) yang kemudian akan diamplifikasi dengan menggunakan alat DNA Thermal Cycler.
Deteksi RNA virus dengue menggunakan teknik Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction ( RT-PCR ) ini sekaligus juga dapat untuk menentukan serotipe virus dengue ( D1, D2, D3, D4 ).Teknik yang digunakan adalah nested PCR, di mana pada PCR tahap kedua menggunakan type specific primer ( TS1-4 ) sesuai dengan serotipe virus dengue.
Prinsip PCR terdiri atas tiga tahap yaitu denaturasi untai ganda DNA, selanjutnya annealing ( penempelan ) primer pada DNA targetnya, terakhir primer extension
( pemanjangan primer ) dengan adanya DNA polimerase. Hasil DNA yang terjadi merupakan akumulasi eksponensial dari DNA target yang spesifik, sekitar 2n di mana n adalah jumlah siklus yang diatur dalam proses PCR ini. Visualisasi proses penggandaan DNA ini dapat dilakukan dengan beberapa cara antara lain dengan elektroforesis gel atau dengan menggunakan DNA probe.

Primer yang dipakai pada nested RT-PCR untuk deteksi virus dengue di TDC ( Tropical Disease Centre ) Unair adalah sebagai berikut.

Primer                          Sekuens                                               Posisi genom    Jumlah dlm bp

D1 5’-TCAATATGCTGAAACGCGCGAGAAACCG-3’                  134-161           511

D2 5’-TTGCACCAACAGTCAATGTCTTCAGGTTC-3’                  616-644           511

TS1      5’-CGTCTCAGTGATCCGGGGG-3’                                    568-586           482

TS2      5’-CGCCACAAGGGCCATGAACAG-3’                             232-252           119
           
TS3      5’-TAACATCATCATGAGACAGAGC-3’                            400-421           290

TS4      5’-CTCTGTTGTCTTAAACAAGAGA-3’                              506-527           392


RINGKASAN
Pemeriksaan darah yang rutin dilakukan untuk menskrining penderita demam dengue adalah melalui uji Rumpel Leede, pemeriksaan kadar hemoglobin, kadar hematokrit, jumlah trombosit dan hapusan darah tepi untuk melihat adanya limfositosis relatif disertai gambaran limfosit plasma biru. Diagnosis pasti didapatkan dari hasil isolasi virus dengue ( metode cell culture ) ataupun deteksi antigen virus RNA dengue dengan  teknik RT-PCR ( Reverse Transcriptase Polymerase Chain Reaction ), namun karena teknik yang rumit yang berkembang saat ini adalah tes serologis ( adanya antibodi spesifik terhadap dengue berupa antibodi tota

Tidak ada komentar:

Posting Komentar